Kamis, 09 Februari 2017

Tambora Mengguncang Dunia

Judul: Tambora Mengguncang Dunia
Penulis: Ahmad Arif, Indira Permanasari, Amir Sodikin, Khaerul Anwar
Penerbit: Kompas Media Nusantara
Tahun Terbit: 2015
Halaman: 80
Harga: Rp. 5.000 (beli di obralan penerbit Kompas)


Kalau bicara soal gunung berapi yang mematikan di Indonesia, pasti semua orang tidak bisa tidak menyebut nama Tambora (selain Krakatau dan Merapi). Gunung yang letusannya pada tahun 1815 begitu dahsyat hingga menyebabkan bencana internasional ini juga menyebabkan daerah kerajaan yang tertutup debu setelahnya disebut Pompeii dari Timur--mengacu pada nama kota yang terkena letusan gunung api Vesuvius di zaman Romawi Kuno. Sayangnya, pengetahuan masyarakat Indonesia tentang gunung ini beserta sejarah kerajaan di sekitarnya sangat minim. Seingat saya, zaman sekolah dulu, peristiwa Tambora tidak pernah disebut-sebut dalam pelajaran geografi atau sejarah atau lainnya. Kenyataannya, bahkan masyarakat sekitar Tambora kini pun ternyata tidak memiliki sejarah tertulis yang akurat mengenai kejadian yang menimpa wilayah itu beberapa abad sebelumnya.

Pada tahun 2011- 2012, Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas melakukan ekspedisi dan penggalian sumber sejarah lebih dalam mengenai gunung yang ternyata memiliki letusan sangat dahsyat--skala 7 dari 8 Volcanic Explosivity Index (VEI). Diakui oleh tim ekspedisi, literatur atau buku-buku mengenai Tambora dalam bahasa Indonesia sangat minim. Lebih banyak buku dan jurnal ilmiah dari luar negeri. Namun demikian, akhirnya pada tahun 2015, laporan ekspedisi tersebut berhasil dibukukan dan diterbitkan.

Dengan tampilan yang menarik, dilengkapi banyak ilustrasi, foto dan bahasa yang simpel, buku Tambora Mengguncang Dunia membawa pembaca mengenal gunung yang terletak di pulau Sumbawa ini. Sebelum meletus di tahun 1815, Tambora merupakan gunung berapi tertinggi di Nusantara, setinggi 4.200 meter, namun tersisa 2.730 meter setelah letusan tahun 1815. Dampak letusannya sampai ke benua Eropa dan Amerika, karena aerosol asam sulfat yang dimuntahkan Tambora menyebabkan hilangnya musim panas di kedua benua itu. Mengenai hal ini, telah banyak disebut dalam literatur. Bagaimana dengan kondisi di pulau Sumbawa sendiri? Miris, ternyata penggalian dan riset mengenai peradaban lokal yang hilang baru dimulai di tahun 2004 oleh arkeolog asal Amerika Serikat, Haraldur Sigurdsson. Sebelumnya, di tahun 1979 malah penemuan barang-barang bersejarah oleh masyarakat sekitar dianggap sebagai harta karun dan dijual kepada kolektor demi kepentingan pribadi, bukan sebagai sumber sejarah bangsa yang perlu digali lebih dalam.

Selain soal penggalian situs Tambora yang dinilai terlambat, dalam buku ini, Tim Ekspedisi Cincin Api juga bercerita mengenai kondisi lingkungan dan masyarakat di sekitar Tambora kini. Untuk buku setebal 80 halaman, banyak pengetahuan yang pembaca bisa dapat. Dan tentunya, pelajaran yang berharga untuk masa depan. Sebuah buku yang menarik untuk dibaca dan dikoleksi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berikan pendapatmu mengenai post yang kamu baca di sini

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...